Posted by Budidaya Perairan UBB on Kamis, 04 Februari 2010 in
Andri Kurniawan, S.Pi., MP

Dosen D3 Perikanan, FPPB, Universitas Bangka Belitung




Salah satu isu kebijakan kalautan dan perikanan yang sedang marak dibicarakan adalah seputar penghilangan pungutan (retribusi) bagi nelayan yang merupakan suatu ide “ektrim” dari Menteri Kelautan dan Perikanan sekarang, Fadel Muhammad. Mulai 1 Januari 2010 kemarin, semua nelayan di seluruh Indonesia dibebaskan dari segala macam bentuk pembayaran retribusi dimana ini merupakan catatan sejarah baru bagi dunia kelautan dan perikanan Indonesia. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit yang mencibir. Meskipun demikian, Fadel Muhammad sepertinya tetap yakin melangkah untuk melaksanakan kebijakannya.

Retribusi tidak bisa dipandang sebelah mata. Kegiatan ini merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Sebagai contoh di Jawa Tengah contohnya, pendapatan daerah dari retribusi nelayan dapat mencapai Rp 14 miliar per tahun. Apabila penghapusan retribusi diberlakukan, maka daerah akan kehilangan “pundi-pundinya”. Hal ini mengundang reaksi kontra terhadap pelaksanaan penghapusan retribusi nelayan di lapangan. Pihak yang belum mendukung berasumsi bahwa kebijakan Fadel Muhammad di Gorontalo akan sulit diaplikasikan apabila scope lokal diskalakan dalam kebijakan nasional.

Di lain sisi, ada pemerintah daerah yang sangat mendukung kebijakan tersebut. Pihak yang mendukung beranggapan bahwa Gorontalo yang notabenenya pernah dipimpin oleh Fadel Muhammad telah membuktikan keberhasilannya untuk melaksanakan program ini sehingga “pungutan” tersebut tidak merugikan nelayan. Selain itu berbagai alasan juga dikemukanan, mulai dari niatan ikhlas untuk mengurangi penderitaan nelayan hingga masalah “keuntungan” yang akan didapatkan sebagai kompensasi kebijakan itu. Di Kabupaten Pasuruan, PAD dari retribusi nelayan hanya sebesar kurang dari Rp 500 juta. Bagi pemda itu bukan nilai uang yang besar, akan tetapi, bagi nelayan itu bukanlah jumlah uang yang kecil. Oleh karena itu kiranya uang tersebut dikembalikan ke nelayan, maka kehidupan nelayan akan menjadi lebih baik. Bagi pemerintah daerah yang berpikir mencari keuntungan, DKP pusat juga sudah mempersiapkan dana alokasi khusus untuk mengganti rugi PAD dari retribusi nelayan. Sebagai contoh, misalnya Daerah Jawa Tengah merasa rugi untuk mengembalikan uang retribusi Rp 14 miliar kepada nelayan, maka DKP pusat telah menyiapkan dana pengganti sebesar Rp 40 miliar dan bahkan dari sumber lain dijelaskan bahwa penggantian itu dapat mencapai Rp 80 miliar. Sementara untuk Indonesia secara keseluruhan, Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 1,7 triliun. Apakah ini ide atau kebijakan yang brilian ataukah radikal?

Idealita dan Realita

Tataran kebijakan terkadang memang sulit diaplikasikan di lapangan. Master plan yang begitu ideal tidak jarang berbenturan dengan kondisi yang minim dukungan. Di Kota Pangkalpinang, Komisi B DPRD Kota harus berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota untuk meninjau surat edaran (SE) Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedangkan pemerintah provinsi tampaknya masih berlahan merespon kebijakan Fadel Muhammad tersebut. Bukan tanpa alasan kebijakan yang akan diambil daerah. Pemerintah harus berpikir ekstra untuk mensiasati kondisi kehilangan sumber PADnya. Sebagai contoh, di TPI ketapang target retribusi dari pelelangan ikan pada 2008 mencapai Rp 350 juta per tahun. Data hingga September 2009, retribusi TPI Ketapang mencapai Rp 250 juta. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu mempertimbangkan dengan matang segala konsekuensi dan kompensasi yang akan diterimanya jika melaksanakan atau tidak melaksanakan SE tersebut. Disisi lain, nelayan di Bangka Belitung, sebagai contoh di TPI Ketapang Pangkalpinang berharap “angin syurga” yang berhembus melalui SE Fadel Muhammmad betul-betul terealisasi dengan baik. Jika pemerintah beranggapan bahwa mereka akan kehilangan “mata pencaharian”, mungkin ada benarnya. Tetapi apakah kehidupan nelayan harus dipertaruhkan untuk sebuah kebijakan yang tidak berpihak pada mereka, apabila pemerintah bersikeras untuk tetap memungut retribusi. Apakah tidak ada sumber pendapatan lain yang lebih baik untuk menghidupkan pendapatan asli daerah, tanpa harus mempertaruhkan kehidupan nelayan yang sejak dahulu kala selalu terkesampingkan.

Nasib Kaum Marginal

Pada kenyataannya, hari ini banyak nelayan yang berharap bahwa uang retribusi yang harus mereka bayarkan dapat mereka bawa pulang ke rumah untuk membahagiakan anak-anak dan istrinya. Mereka berharap besar bahwa pertaruhan hidup mereka di tengah keganasan lautan dapat di rasakan oleh keluarga mereka, walaupun hanya berharga sepiring nasi. Sudah cukup lama mereka menjadi kaum marginal di negeri maritim yang memiliki luas lautan ¾ wilayah teritorialnya, Indonesia. Sudah tidak asing lagi jika nelayan hanyalah kaum lapis terendah yang keberadaannya dipandang sebelah mata; hanya sebagai penyedia ikan di meja makan. Mungkinkah retribusi yang sudah puluhan tahun dipungut tersebut sebenarnya merupakan kebijakan “pemerasan” bagi kaum marginal?.

Sekarang, tinggal kita semua menanti bagaimana akhir perjalanan kebijakaan Fadel Muhammad dari DKP pusat sampai pada level terendah pengambil kebijakan di daerah. Apakah surat edaran itu akan mengangkat derajat kesejahteraan nelayan ataukah sebuah legitimasi untuk memarginalisasi kaum nelayan??.


0 Responses to “Retribusi dan Marginalisasi Nelayan”:

Posting Komentar